Quantcast
Channel: Banalitas.org » Internet
Viewing all articles
Browse latest Browse all 7

Satir, Masihkah Ada Manfaatnya?

$
0
0

Usil di Internet

Pada tahun 2001, sebuah media ternama menerbitkan "laporan" yang berjudul: "Gay-Pride Parade Sets Mainstream Acceptance Of Gays Back 50 Years". Menurut "berita" tersebut, warga Los Angeles yang rata-rata sudah berpikiran terbuka dalam menyikapi permasalahan LGBT tiba-tiba menjadi antipati terhadap kaum gay sebab pawainya vulgar sekali dan seolah-olah mengkonfirmasi banyak stereotipe-stereotipe jelek. "Saya kira mereka manusia biasa yang kebetulan seleranya berbeda," keluh salah seorang penonton. "Rupanya, owalah…"

* * *

Sengaja saya letakkan kata "laporan" dan "berita" di dalam tanda kutip sebab media ternama yang saya maksud adalah The Onion, media yang berspesialis di bidang satir. Jadi kisah yang dikutip itu bohong-bohongan saja, satir; suatu candaan yang setelah bikin Anda ketawa, dia mengajak supaya berpikir. Definisi asli "satir" sendiri agak lebih rumit, tapi toh kasarnya pasti kita sudah kenali dari bertahun-tahun melayari Internet.

Pada komunitas blogosfir Indonesia, satir sempat populer sekitar awal 2007, utamanya melalui blogger kawakan Wadehel. Sasaran yang dituju waktu itu adalah komunitas salafis yang mulai berkumpul di layanan WordPress. Namun satir, seperti juga blog itu sendiri, hanyalah sebuah tren, dan tak lama setelah itu matilah dia. Saya yakin satir-satir baru masih ditulis (umpamanya di blog Tempe Ramen) tapi secara umum praktiknya sudah tak modis lagi.

Buat saya pribadi, wajah satir dewasa ini justru cenderung keruh. Justru mengingatkan pada banyak berita-berita bohong yang disebarkan untuk main-main, dan tujuannya hanya untuk mengelabui orang ramai. Satir seharusnya dinilai gagal kalau tidak jelas bahwa ia hanya berita yang dibuat-buat. Toh manteranya adalah "membuat ketawa, lalu berpikir"—kalau yang membaca betulan tertipu, ya blas tidak akan dibuat berpikir, dan bahkan ketawa pun dia belum tentu. Seringkali keusilan semacam ini disebarkan sebagai "eksperimen", lalu kemudian hasilnya dilaporkan kepada lingkar pertemanan pelaku. Dan tertawalah mereka, tertawa menandakan superioritas. Ini mengherankan; di mana faedahnya? Korban yang terlanjur percaya 'kan tak bisa satu-satu diinformasikan bahwa "eksperimen"-nya sudah berakhir.

Sisi demikian membuat saya sulit untuk sepenuhnya menyukai media satir. Namun begitu perlu diingat, perlu diakui pula bahwa satir-satir produksi The Onion dan sebangsanya kualitasnya lebih baik dari terbitan amatir. Satir mereka tidak sekadar mengikuti pola sarkastis yang umum (yaitu melakoni sudut pandang lawan dan membuat mereka kelihatan bodoh), dan tidak melulu jelas memihak kubu yang mana. Jadi intinya, bersatir itu, saya kira, susah. Jangan dilakukan kalau belum piawai benar.

Kembali ke tulisan The Onion yang tadi dikutip, satir barangkali serupa dengan pawai LGBT yang vulgar. Efektif pada masanya, tapi sebagai metode menyampaikan opini sekarang sudah basi.

(Catatan munafik: Salah-paham di tulisan [ini] tetap lucu walau mengenaskan.)

Gambar dari the Technology eZine.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 7

Latest Images

Trending Articles





Latest Images